Asal Usul Desa Gandasuli,
Brebes,
Gandasuli adalah nama dari salah
satu kelurahan dalam lingkungan kecamatan Brebes dan terletak di Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Secara kebetulan bahwa ibukota
kabupaten termasuk juga dalam daerah kecamatan Brebes. Sebagai
kecamatan yang terdapat ibukota kabupaten, kecamatan Brebes tidak kecil
peranannya bagi kehidupan pemerintahan di tingkat kabupaten ini. Letak
geografis Desa Gandasuli ialah di sebelah timur desa Brebes. Sedang batas
sebelah utara adalah jalan Raya Daendels yang menghubungkan Brebes – Tegal dan
seterusnya dari arah Barat maupun arah timur. Mudahnya letak desa ini tepat di
tepi jalan raya yang terkenal Daendels. Sehingga komunikasi dengan luar daerah
sangat mudah. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Banjaranyar dan sebelah
selatan dengan dukuh Klapasawit yang termasuk wilayah Desa Padasugih.
Desa yang berpenduduk ± .... K.K ini
dianggap cukup padat. Kebanyakan mereka hidup dengan bertani, petani sawah
maupun petani buruh. Sebagian lagi mengusahakan industri Rumah, seperti membuat
dan menjual tempe maupun gemblong (singkong rebus yang ditumbuk halus benar).
Tempe dan gemblong Gandasuli ini memang benar – benar dikenal secara baik oleh
masyarakat terutama kaum ibu, karena memang enak rasanya, terutama tempenya
dibuat dengan kedelai pilihan. Rupanya mutu tempe Gandasuli ini akan tetap
dipertahankan, cara pembuatan tempe ini telah dikenal baik oleh kalangan anak –
anak sekolah setempat.Sebagian penduduk lagi ada yang hidup merantau untuk
mengadu nasib ke luar desa, bahkan ada yang sampai ke Jakarta sebagai tukang
batu, tukang kayu, pedagang dan lain –
lain.
Seperti yang terdapat didalam desa –
desa lain di negeri kita ini, Gandasuli tidak tampak suatu keistimewaan yang
menonjol. Kehidupan masyarakat dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi,
pembangunan boleh dikatakan setarap dengan lain – lain desa terutama dalam
wilayah Kecamatan Brebes. Hanya ada satu keistimewaan yang bisa menarik
perhatian, telah dikenalnya nama Gandasuli ini sampai ke luar daerah, bahkan sampai jauh ke luar
daerah kabupaten Brebes. Kenyataan bahwa banyak pendatang dari jauh sekedar
“nyepi” untuk memohon berkah di makam “mbah
Juminten” maupun di makam “mbah Jumirah”.
Bermacam – macam tujuan mereka untuk “mengalap” berkah ini, ada yang ingin
mendapat rezeki berlimpah, ada pula yang ingin segera naik pangkat atau dapat
menduduki jabatan tertentu, ada pula yang ingin mendapat pusaka dan lain –
lain. Bermacam – macam pula mereka “nyepi” diantaranya ada yang harus dilakukan
dengan cara tafakur tidak tidur semalam suntuk. Konon kabarnya ada juga yang
berhasil mendapatkan wahyu, atau bahkn dapat bertemu dengan roh “mbah Juminten” atau “mbah
Jumirah” tersebut. Tetapi tidak sedikit pula yang gagal karena ditolak
atau tidak kuat menjalankan syarat – syaratnya.
Menurut “Ki Karyad” orang yang dapat
digolongkan tua – tua atau sesepuh di Gandasuli (95 th. Pada tahun 1978), yang masih leluhur “Ki
Karyad” sendiri. Peninggalan dalang Gandasari ini konon ada seperangkat gamelan
(alat musik jawa) bekas iringan disaat pementasan, dititipkan kepada seorang
kepercayaan “Ki Gandasari” di desa Padasugih. Menurut “Ki Karyad “, gamelan
yang ada di Padasugih dan disimpan oleh salah seorang pensiunan Guru di sana
itulah peninggalan “Ki Gandasari”. Sedang “KI Karyad” sendiri yang juga seorang dalang tidak bisa merawatnya,
sebab semenjak masa mudanya ia sendiri gemar merantau dan pernah mengabdi di
dalam keraton surakarta Adiningrat / mangkunegaran. Dan pernah pula bekerja di
dalam kasepuhan cirebon.
Ki dalang Gandasari setelah meninggal
dikuburkan dekat pohon asam. Dan pohon asam itu hingga kini masih tumbuh kokoh
meskipun tampak akan ketuaannya. Demikian tuanya sehingga merupakan satu –
satunya pohon yang terbesar dan terimbun di desa Gandasuli. Di makam Ki
Gandasari ini sering pula didatangi orang – orang yang “nyepi”. Tidak banyak
ceritera orang tentang makam ini, meskipun masih dianggap sebagai makam yang
keramat. Pohon asam itulah yang diceriterakan sementara orang adalah sebagai
lajernya penduduk Gandasuli. Meskipun cabang atau dahan – dahannya yang tumbuh
bebas membuat pemandangan menjadi seram, tidak seseorangpun yang berani mencoba
menebang. Dikatakan oleh “Ki Karyad” bahwa pernah seorang tukang pembuat arang
memberanikan diri atas suruhan pemilik tanah pekarangan untuk menebang cabang –
cabangnya, tetapi selang beberapa hari setelah peristiwa penebangan itu, si
penebang jatuh sakit dan disusul dengan
kematiannya. Hal ini diulangi lagi oleh seseorang lain yang tidak mempercayai
adanya hubungan penebangan pohon asam dengan meninggalnya orang tersebut.
Akhirnya orang kedua inipun mengalami nasib yang sama. Hingga sekarang tidak
seorangpun yang berani mengusik pohon itu meskipun diupah berapapun besarnya.
Akibatnya pohon itu tumbuh merimbun dan meneduhi daerah sekitar pohon asam itu,
sehingga membuat suasana menjadi tampak seram dan angker. Jarang orang berani
mendekat pohon itu kecuali mereka yang sudah dengan niat akan “nyepi” di situ.
Dahulu, sebelum penduduk sepadat
sekarang ini, pada setiap bulan maulud terutama di hari kamis wage malam jum`at
kliwon, pohon asam itu didatangi oleh serombongan kera, rombongan kera ini
sedemikian banyak sehingga dapat memenuhi dahan – dahan pohon asam itu. Disaat
mereka datang tidak ada suara, hanya bergumam seperti suara manusia, dan yang
dapat tahu kedatangan merekapun tidak tampak mereka berbondong – bondong. Baru
setelah berkumpul mulailah mereka menyuarakan jeritan – jeritan, hiruk – pikuk
berteriak – teriak seperti paukan yang menang perang. Kebisingan suara
rombongan kera ini dapat didengar semua orang sekitarnya. Tidak sedikit sekali
hidup yang menyaksikan kejadian itu. Konon menurut “Ki Karyad” mereka itu
sebenarnya manusia juga adalah pasukan dar surakarta yang akan menuju ke
Cirebon. Hanya dalam waktu sebentar merekapun mulai meninggalkan pohon asam itu
untuk melanjutkan perjalanan ke arah barat. Kepergian merekapun mengambil cara
seperti mereka datang. Bagi orang – orang yang berumur 65 tahun ke atas dapat
dijadikan saksi mata dalam peristiwa – peristiwa itu. Seperti “Ki Karyad” sendiri. “Ki Sakhib” dan lain – lain. sayang hal
itu sekarang sudah tidak pernah terjadi, entahla di kelak kemudian hari.
Selanjutnya “Ki Sakhib” yang termasuk pula
orang – orang golongan tua telah pula memberikan uraian tentang “mbah Jumirah” dan
“mbah Juminten”. Ceritera ini Dia dapatkan dari ceritera orang – orang
tua pula secara turun – temurun, jadi tentang kebenarannya hanya Tuhanlah yang
maha tahu. Menurut “Ki Sakhib”, dahulu pernah terjadi kekosongan jabatan Bupati
di Brebes. Hal ini mengundang perhatian
dari luar daerah. Datanglah dua orang laki – laki kakak – beradik, konon ada
yang menyebut asal dari Yogya, ada pula yang mengatakan asal dari Tuban. Di tempat
asalnya, mereka telah menduduki jabatan wedana pada saat itu. Tujuan ke Brebes tiada lain untuk mengadu nasib
dengan cara “magang” (bekerja sebagai calon Bupati). Dasar nasib belum mujur,
sampai di Brebes, lowongan itu telah terisi. Kedua orang laki – laki kakak –
beradik yang masing – masing menyebut dirinya “Jumirah” si kakak dan “Juminten”
si adik itu singgah di Gandasuli. Berhubung tujuan tidak kesampaian dan akan
kembali ke daerah asalnya sudah tidak mungkin, sebab disana mereka telah
meletakkan jabatan masing – masing., stelah mengadakan perundingan merekapun
pantang untuk menarik keputusan yang telah mereka relakan kepada orang lain.
Mereka berdua berniat untuk meningkatkan ilmu yang mereka miliki masing –
masing dengan cara masing – masing pula. Jumirah pergi entah kemana tidak
satupun yang mengetahui, sedang Juminten tetap tidak mau pergi dari desa
Gandasuli. Juminten selalu menonjolkan rasa sosialnya. Pekerjaan sehari –
harinya menanak nasi. Sehingga tempat dia menanak dan petilasan itu disebut
petilasan atau makam “buyut tungku” (tungku adalah suatu tempat untuk memasak :
kompor untuk jaman sekarang). Nasi yang satu kaleng (seperti kaleng susu)
ditanak dan dibagi – bagikan kepada orang – orang miskin atau mereka yang
kelaparan. Konon kabarnya nasi yang sedikit itu belum bisa untuk di makan
sampai kenyangbagi beberapa orang. Sedangkan keraknya dia ambil dan digunakan
untuk pengganti genting sebagai peneduh gubugnya. Dan anehnya biarpun hujan
deras sekalipun dengan genting kerak nasi itu juminten tidak akan kehujanan. Pernah
sekali peristiwa di kala jalan raya Daendels dibangun, pekerja – pekerja diberi
makan oleh juminten. Demikian pula ketika mereka dipaksa unntuk bekerja terus
meskipun hari hujan deras, pekerja – pekerja itu diberi kerak nasi sebagai
pengganti topi. Dengan tutup kepala kerak nasi itu mereka dapat bekerja terus
tanpa gangguan hujan, meskipun hujan lebat sekalipun mereka tetp tdak
kehujanan, sedikit basahpun tidak, demikian kata “Ki Karyad”. Hal ini sangat
irrasionil bagi alam pikiran kita sekarang. Tetapi begitulah kata orang, kita
tidak bisa menolak.
Setelah sekian lama pergi, suatu hari
Jumirah si kakak ini datang kembali di Gandasuli, langsung menemui juminten si
adik. Juminten dengan rasa kangen (rindu) menanyakan pula sampai dimana saja
sekian lamanya pergi, dan apa pula hasilnya. Jumintenpun menceritakan dirinya,
bahwa sepeninggal Jumirah pekerjaan sehari – harinya hanya menanak nasi untuk
dibagi – bagikan kepada orang – orang miskin dan kelaparan. Sedang keraknya
diambil dan digunakan sebagai pengganti genting sebagai peneduh rumah gubugnya.
Dengan rasa bangga Jumirah yang meras bahwa ilmunya meningkat ingin pula
menunjukkan betapa hebatnya ilmu itu. Disuruhkan Juminten memejamkan mata
sekejap saja, tahu – tahu juminten telah dikerumuni oleh berbagai binatang buas
seisi hutan rasanya. Juminten tidak menjadi heran atau gugup, tidak juga tampak
takut, tetap tenang sambil mengatakan bahwa Iapun ingin menunjukan betapa
kemajuan ilmunya yang diperoleh tanpa pergi jauh itu. Disuruhnya pula Jumirah
memejamkan mata pula sekejap, dalam sekejap mata itulah segala binatang buas
yang mengerikan lenyap tidak berbekas, seolah – olah tidak ada kejadian sebelumnya.
Tahulah kini ilmu adiknya dapat
mengungguli ilmunya, maka tak ingin jumirah melanjutkan, dan menyatakan kalah.
Hanya ada suatu pesan dari jumirah kepada adiknya “bahwa kelak jika ia
meninggal agar dikuburkan di sebelah timur sungai dan Juminten sendiri agar
menempati sebelah barat sungai”. Permintaan itu dipenuhi dan kenyataan sekarang
meskipun sungai yang membatasi kedua makam itu kini sudah hilang sama sekali
bekas – bekasnya, mungkin karena endapan lumpur telah meratakan dasar sungai
itu dengan tanah pekarangan.
Bagi yang “nyepi” di makam “mbah
Jumirah” tentu ada yang pernah ditemui wujud seekor harimau, kadang harimau
hitam (Si Kumbang), kadang bentuk harimau kecil wrna kemerah – merahan (Si
Serang), kadang bentuk yang menakutkan karena besar dan loreng – loreng dengan
ekor yang berjuntai panjang (Si Gembong). Hingga sekarang meskipun tidak
melakukan “nyepi” ada pula penduduk yang menampak harimau di malam hari disaat
– saat tertentu. Kadang “mbah Juminten” ada pula berita pemunculannya bentuk
seekor kucing warna putih, kadang juga seekor harimau warna putih. Karena
pemunculannya mereka kesemuanya berujud harimau itu maka banyak orang
meyakinkan bahwa mereka mempunyai ilmu yang sama, kata “Ki Sakhib” adalah ilmu
siliwangi. Penduduk yang punya khajad kadang – kadang mendapat kunjungan kucing
putih ini. Dan makna kedatangannya itu tidak mendapat penjelasan.
Ada pula ceritera yang dikatakan oleh
“KI Karyad”, bahwa batas presiden R.I yang pertama, bung karno almarhum pernah
pula berkunjung ke desa Gandasuli. Kunjungan secara ingognite ini secara
mendadak dan disaat malam hari.kunjungan pertama dilakukan pada jaman sebelum
penjajahan jepang, jadi sebelum menjabat sebagai presiden R.I sudah ada lima
kali beliau berkunjung masuk ke rumah “Ki Karyad” dan kunjungan yang entah
sudah berapa kali lagi. Bahkan pada jaman penjajahan Jepang, sempat pula bung
Karno memimpin latihan keibodan.
Yang sangat terkesan oleh “KI Karyad”
ialah permintaan Bung Karno untuk mencarikan lidi aren. “Ki Karyad” mencari dan
mendapat tiga batang lidi, selanjutnya dibawa keliling desa sampai disuatu
tempat dimintanya sebatang lalu dilemparkan, konon katanya sampai menimbulkan
suara “thak’ yang cukup keras. Sambil beliau katakan bahwa kelak disitu akan
didirikan sebuah kantor rakyat, dan kenyataan sekarang tempat itulah didirikan
gedung DPRD Tk. II Brebes yang cukup megah. Lidi kedua dimintanya pula dan
ditancapkan di suatu tempat sambil mengatakan bahwa di tempat ini akan didirikn
pula kantor pemerintah. Kenyataannya sekarang di tempat itu berdiri kantor
pajak daerah. Adapun lidi yang terakhir dilemparkan pula, yang ternyata di
tempat jatuhnya lidi, sekarang berdiri kantor kepala desa Gandasuli (kantor kepala desa yang lama).
Peristiwa selanjutnya yang ada hubungan
dengan kehadiran Bung Karno ini di sana – sini memang sering terdengar dan
menjadi buah bibir masyarakat Gandasulii sendiri maupun masyarakat sekitarnya.
Berita dari mulut ke mulut ini terkhir pernah kunjungan ingognite ini terdengar
pada tahun 1966 setelah beliau turun dari jabatan Presiden. Semenjak itu belum
ada lagi ceritera orang mengenai kunjungan ini.
Adapun serentetan kunjungan itu menurut
“Ki Karyad” bertujuan meninjen makam Ki Gandasari maupun kedua kakak beradik
Jumirah dan Juminten tersebut. Ketenaran makam – makam tersebut tak lain karena
masyarakat menganggap keramat. Anggapan kekeramatan ini tertanam pula dalam
hati, sementara pejabat – pejabat penting ditingkat pemeritahan kabupaten
Brebes sendiri. Diakui atau tidak, hal ini sekedar penulis uraian berdasarkan
penjelasan “Ki Karyad”. Demikian pula masyarakat Gandasuli sendiri setiap hari
kamis wage malam jum`at kliwon, terutama penduduk asli Gandasuli menaruh “Paso”
(semacam mangkuk dari tanah liat) yang diisi air jernih serta diberi bunga –
bungaan. Sesaji ini dimaksudkan untuk menjamu bila suatu ketika singgah
dipekarangannya, sebab menurut anggapan mereka “mbah jumirah” akan sangat marah
jika tidak disediakan sesuatu.
Demikianlah tradisi ini terus berjalan hingga kapan Tuhanlah yang Maha Tahu.
Cerita lain menceritakan bahwa Pada jaman dahulu kala sekitar abad 17 dan
18 , hiduplah seorang kakak beradik yang bernama jamirah dan jaminten. Dia tidak
mempunyai sanak saudara, entah dari mana tempat kelahiran nya kakak beradik itu. Dia hidup berkecukupan, senang menolong orang miskin, taat
beribadah,bahkan orang sekampung pun waktu itu merasa tentram, karena mbah jamirah
selalu memberi makanan anak-anak yang kelaparan. Bahkan kepada orangtua nya
disuruh mengambil padi untuk ditumbuk dan dimasak untuk makan sekeluarga nya.
Anak-anak disuruh mengaji dirumah jamirah dan jaminten. Pada suatu hari jamirah mengeluh sakit, kemudian oleh tokoh masyarakat
untuk mengobati dengan mantra supaya sembuh. Tetapi rupanya allah berkehendak
lain, wafatlah jamirah itu. Maka sebagai tanda terima kasih atas pengabdian
jamirah itu, masyarakat sekitar pun membawa bunga - bunga yang harum semerbak.
Bunga-bunga untuk menyusuli itu ditaburkan disepanjang jalan mulai dari lingkungan rumah kekanjengan
sampai ketempat dimana jaminten itu meninggal dunia yang menembarkan bau harum
semerbak itu berhamburan kemana-mana. Maka dengan
peristiwa tersebut terjadilah nama GANDASOLI yang berasal dari harumnya bunga
yang amat sangat menimbulkan bau yang dalam bahasa jawa bau itu
sama dengan Ganda atau Bondo . adapun SOLI yang
berarti orang yang taat ibadah atau sholeh. Jadilah Desa Gandasoli, seiring
berkembangnya waktu nama Gandasoli berubah menjadi gandasuli.
Sebagai akhir tulisan ini, penulis
mengaku bahwa tulisan atau galiannya sangat dangkal. Mudah - mudahan ada tegur
sapa dari mereka yang merasa lebih mengetahui kecuali sumber yang penuis
kemukakan tersebut diatas, segala sesuatunya dari kesempurnaan ceritera rakyat
ini. Selanjutnya untuk dapat kita sajikan kepada masyarakat demi kemajuan
bangsa kita umumnya.
No comments:
Post a Comment